Peristiwa aneh itu terjadi pada tahun 1917. Seorang pertapa, sebenarnya penampilannya lebih mirip orang gila, tiba-tiba muncul di rumah keluarga Tjoeng Kwaw Suprana di Wonogiri. Malam itu ia minta makan dan mohon diperkenankan menginap.
Esok harinya, si pertapa mengucapkan terima kasih, dan membuka misteri tentang jati dirinya. Ia sebenarnya pangeran Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang sedang melakukan tapa ngedan di Gunung Lawu. Di antara rasa takjub yang belum reda, Tjoeng Kwaw Suprana mendengar tamu istimewa itu berpesan agar ia menggunakan nama Jago (ayam jantan, dalam bahasa Jawa).
Waktu itu ia baru saja membuka usaha kecil-kecilan. Mengamati bagaimana ibundanya meracik jamu gendong siap minum, Suprana mencoba membuat terobosan. Racikan ditumbuk, lantas Perusahaan keluarga ini telah menembus pasar lokal dan internasional. Sukses hingga generasi keempat. Di usianya yang sudah menjelang seratus tahun, Jamu Jago mencoba bertahan. dikemas kecil-kecil supaya praktis. Setahun berselang, usaha ini bergerak maju. Saat itulah, tahun 1918, Suprana membubuhkan nama yang dipesankan tamu itu untuk merek jamunya. Usahanya melejit cepat. Pada tahun 1936, Suprana menyerahkan tongkat estafet kepada empat putranya: Anwar Suprana, Panji Suprana, Lambang Suprana, dan Bambang Suprana. Di tangan empat bersaudara itulah Jamu Jago menguasai pasar jamu di eks Karesidenan Surakarta dan sekitarnya. Bahkan, pada tahun 1937, Keraton Surakarta Hadiningrat menetapkan Jamu Jago sebagai jamu resmi istana.
Di depan Pasar Induk Kabupaten Wonogiri di Jalan Raya Wonogiri, Jawa Tengah, yang kini sesak oleh toko itu, pernah berdiri ”kompleks” Djamu Djago. Itulah salah satu bukti kejayaan keluarga Suprana di Wonogiri. Mudjimin, 74 tahun, warga Kampung Gerdu, Kelurahan Giripurwo, Wonogiri, masih ingat bangunan pabrikberada di sebelah selatan pasar. Agak ke selatan lagi ada rumah T.K. Suprana, kini menjadi Markas Komando Distrik Militer Wonogiri. Sedangkan gerai Djamu Djago berada di salah satu deretan toko di seberang pasar induk.
Pada tahun 1949, keluarga Suprana memboyong pabrik ke Semarang. Kota ini dipilih karena posisinya strategis, berada di pusat lalu lintas Pulau Jawa. Ada akses transportasi darat dan laut untuk mendatangkan bahan baku jamu dan mengapalkan produk ke luar Jawa dan mancanegara. Toh, kedekatan dengan keraton tetap dijaga. Pabrik kelas rumahan di Wonogiri digeser ke Solo.
Dari Semarang, Jamu Jago masuk ke pasar Bali dan Lampung. Empat tahun kemudian, mereka menembus mancanegara. Misalnya Belanda, Malaysia, Jepang, Australia, Taiwan, dan Vietnam. Pabrik baru, kali ini lebih modern dan seluas dua hektare dibangun di Jalan Setiabudi. Mesin-mesin canggih didatangkan dari Amerika. Dibikin pula pusat laboratorium obat dan jamu. Dua sarjana farmasi direkrut. Mereka bertugas menjelaskan khasiat jamu secara ilmiah, bukan hanya mitos.
Kini Jamu Jago dikelola oleh generasi ketiga: Nugraha Suprana, Jaya Suprana, Sindu Suprana, dan Monika Suprana sebagai komisaris. Generasi keempat dipersiapkan untuk melanjutkan dinasti. Ada Arya Suprana sebagai direktur sumber daya manusia dan Ivana Suprana sebagai direktur produksi. Dimotori Jaya, mereka mendirikan Museum Rekor Indonesia yang bersinergi.
Esok harinya, si pertapa mengucapkan terima kasih, dan membuka misteri tentang jati dirinya. Ia sebenarnya pangeran Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang sedang melakukan tapa ngedan di Gunung Lawu. Di antara rasa takjub yang belum reda, Tjoeng Kwaw Suprana mendengar tamu istimewa itu berpesan agar ia menggunakan nama Jago (ayam jantan, dalam bahasa Jawa).
Waktu itu ia baru saja membuka usaha kecil-kecilan. Mengamati bagaimana ibundanya meracik jamu gendong siap minum, Suprana mencoba membuat terobosan. Racikan ditumbuk, lantas Perusahaan keluarga ini telah menembus pasar lokal dan internasional. Sukses hingga generasi keempat. Di usianya yang sudah menjelang seratus tahun, Jamu Jago mencoba bertahan. dikemas kecil-kecil supaya praktis. Setahun berselang, usaha ini bergerak maju. Saat itulah, tahun 1918, Suprana membubuhkan nama yang dipesankan tamu itu untuk merek jamunya. Usahanya melejit cepat. Pada tahun 1936, Suprana menyerahkan tongkat estafet kepada empat putranya: Anwar Suprana, Panji Suprana, Lambang Suprana, dan Bambang Suprana. Di tangan empat bersaudara itulah Jamu Jago menguasai pasar jamu di eks Karesidenan Surakarta dan sekitarnya. Bahkan, pada tahun 1937, Keraton Surakarta Hadiningrat menetapkan Jamu Jago sebagai jamu resmi istana.
Di depan Pasar Induk Kabupaten Wonogiri di Jalan Raya Wonogiri, Jawa Tengah, yang kini sesak oleh toko itu, pernah berdiri ”kompleks” Djamu Djago. Itulah salah satu bukti kejayaan keluarga Suprana di Wonogiri. Mudjimin, 74 tahun, warga Kampung Gerdu, Kelurahan Giripurwo, Wonogiri, masih ingat bangunan pabrikberada di sebelah selatan pasar. Agak ke selatan lagi ada rumah T.K. Suprana, kini menjadi Markas Komando Distrik Militer Wonogiri. Sedangkan gerai Djamu Djago berada di salah satu deretan toko di seberang pasar induk.
Pada tahun 1949, keluarga Suprana memboyong pabrik ke Semarang. Kota ini dipilih karena posisinya strategis, berada di pusat lalu lintas Pulau Jawa. Ada akses transportasi darat dan laut untuk mendatangkan bahan baku jamu dan mengapalkan produk ke luar Jawa dan mancanegara. Toh, kedekatan dengan keraton tetap dijaga. Pabrik kelas rumahan di Wonogiri digeser ke Solo.
Dari Semarang, Jamu Jago masuk ke pasar Bali dan Lampung. Empat tahun kemudian, mereka menembus mancanegara. Misalnya Belanda, Malaysia, Jepang, Australia, Taiwan, dan Vietnam. Pabrik baru, kali ini lebih modern dan seluas dua hektare dibangun di Jalan Setiabudi. Mesin-mesin canggih didatangkan dari Amerika. Dibikin pula pusat laboratorium obat dan jamu. Dua sarjana farmasi direkrut. Mereka bertugas menjelaskan khasiat jamu secara ilmiah, bukan hanya mitos.
Kini Jamu Jago dikelola oleh generasi ketiga: Nugraha Suprana, Jaya Suprana, Sindu Suprana, dan Monika Suprana sebagai komisaris. Generasi keempat dipersiapkan untuk melanjutkan dinasti. Ada Arya Suprana sebagai direktur sumber daya manusia dan Ivana Suprana sebagai direktur produksi. Dimotori Jaya, mereka mendirikan Museum Rekor Indonesia yang bersinergi.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Made In Indonesia
dengan judul Jamu Jago, Raja Jamu Dari Indonesia. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://campurandom.blogspot.com/2012/02/jamu-jago-raja-jamu-dari-indonesia.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Shafwandi - Monday, 27 February 2012
Belum ada komentar untuk "Jamu Jago, Raja Jamu Dari Indonesia"
Post a Comment